Beriman atau Kafir adalah kehendak bebas manusia

"Dan katakanlah (Muhammad) kebenaran itu datangnya dari TuhanMu.Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman dan barang sipa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.Sesungguhnya kami telah menyediakan neraka bagi orang dhalim yang gejolaknya mengepung mereka.Jika mereka meminta pertolongan (minum) mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah (itulah minuman yang paling buruk) dan tempat istirahat yang paling jelek."

(Q.S Al-Kahfi ayat 29)

Selasa, 13 Juli 2010

:: IBU.....KAPAN AKU BISA TIDUR DISISMU ? ::

Tersentak hati Bu Dina mendengar permintaan anaknya. Anak laki-lakinya ingin ditiduri, ingin diberi kehangatan darinya..kehangatan seorang ibu, Kehangatan..kasih sayang ibu.
Sebagai seorang wanita yang cantik, Dina memiliki hampir segala yang diimpikan kaum wanita. Parasnya ayu, manies dan selalu enak dipandang. Bentuk hidung, mata, alis, bulu mata hingga ke garis pipi yang tertata indah bak bulu perindu diatas bintang timur diwaktu senja. Postur tubuhnya sangat ideal untuk seorang wanita. Kulitnya yang putih dan jenis rambutnya yang panjang hitam bergelombang menambah nilai keaggunannya. Kemolekan lekuk tubuhnya menyebabkan ia sering disebut wanita terseksi.

Dina, seorang wanita karir pada salah satu perusahaan swasta besar di Ibukota, termasuk wanita yang cerdas. Ditunjang pendidikan formalnya yang merupakan alumni Pasca Sarjana Komunikasi Universitas ternama.
Loyalitas terhadap perusahaan tidak diragukan lagi, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu 'maskot' pegawai diperusahaannya. Tak heran bila karirnya bagai 'rising' star. belum sepuluh tahun bekerja, dia sudah menduduki jabatan penting, setingkat Department Head (Kepala Bagian). Dikenal dekat dengan bawahan. Suppel dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan jajaran pimpinan. Tipikal Dina selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan pegawai, gunjingan hingga tentu saja 'fitnah' dari orang-orang yang tidak menyukainya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia akan dipromosikan menjadi salah satu deputy kepala divisi.

'ah...paling dengan keseksiannya' kata mereka yang tidak suka.

"Ibu mau kemana....?" tanya Fitri, puteri bungsunya

"Ibu mau berangkat ke kantor nak..." jawab Dina, sambil merapihkan pakaiannya

"Kok masih gelap bu....bareng ayah gak bu...?" tanya Fitri lagi dengan bahasa anak yang agak cadel

"Ayah khan belum pulang nak. Masih di Bandung..." jawab dina, tanpa memalingkan wajah dari cermin hiasnya

Jam masih menunjukkan pk. 04.25 pagi. Hari masih gelap. Anak-anaknya masih terlelap, kecuali Fitri yang terbangun karena mendengar suara peralatan riasnya.

"Aku tidak boleh terlambat...aku harus tiba sebelum Bos dan Klienku datang.." pikir Dina dalam hati

"Bu, aku masih mau tidur...." kata Fitri

"Iyya nak...."

.Dina mencium kening anak puteri satu-satunya itu. Dengan penuh kasih sayang dipeluknya erat sambil berkata pelan, "Nanti sekolah sama si Mbok ya....sarapan disekolah juga gak apa-apa kok...Ibu harus berangkat pagi-pagi..."

"Ah, Ibu...kemarin sudah pagi pagi...kemarinnya lagi pagi, sekarang pagi lagi..." keluh Fitri, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya

"Fitri, Ibu bekerja juga untuk Fitri. Untuk sekolah Fitri dan Adit.....untuk membelikan Fitri rumah-rumahan dan masak-masakan..." jawab Dina pelan

"Tapi Ibu selalu pulang malam. Fitri gak pernah tidur bareng Ibu. Makan sama si Mbok...sekolah juga sama si Mbok...." keluh Fitri lagi sambil menggulingkan tubuhnya.

"Fitri, Ibu mau berangkat.....kamu berangkat sama si Mbok ya...!" seru Dina dengan sedikit keras dan wajah agak memerah.

Dina segera keluar kamar. Dia memang tidur bersama anak puterinya yang masih berusia tiga tahun. Ketika akan membuka pintu kamar, Dina menyempatkan diri melihat raut wajahnya dicermin.

Terlihat jelas rona merah diwajahnya. Warna kulitnya yang putih menambah kejelasan 'rona merahnya'. Dina menghela nafas panjang, kemarahan sesaat telah merubah tutur bahasanya. Sudah merubah pula paras ayunya...

"Huh...Fitri selalu membuat aku marah....Fitri sering memperlambat jalanku ke kantor..." keluhnya sambil mengusap keringat didahinya.

"Ah sudah pk. 04.45...aku bisa terlambat ..."

Dina mempercepat langkahnya. Sampai diteras rumah keraguan muncul dihatinya....Dia belum sempat bicara dengan Adit, anak sulungnya...

"Ah dia khan sudah tujuh tahun. Sudah lebih besar. Dia pasti ngerti lah..."

-oooOooo-

Presentasi mengenai pengembangan perusahaan, khususnya bidang komunikasi, kemitraan dan pemasaran yang dipaparkan Dina memdapatkan sambutan luar biasa dari Stake Holder (Pemegang Saham, Komisaris, Jajaran Direksi dan Mitra Kerja). Sambutan itu ditandai dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri dan ucapan selamat yang seolah tak putus.

Senyum sumringah tersembul dari wajah Dina. Perasaan puas memenuhi rongga hatinya. Dia menghela nafas panjang. Memejamkan mata sesaat...."Akhirnya aku berhasil...."

Untung aku bisa mempersiapkan diri dengan baik. Untung juga aku tiba lebih awal sehingga bisa mengkondisikan semuanya.......

"Dina selamat ya....tidak sia-sia kami menempatkan kamu sebagai Dept Head Promosi & Kemitraan....." kata seorang Direksi sambil menjabat erat tangan Dina.

Jabatan tangan yang terasa 'lain'. Terasa ada getaran 'hangat' yang menjalar melalui jari-jari terus hingga pangkal tangan, dan meluncur deras dihati. Jantung berdegup kencang...entah perasaan apa itu. Yang jelas perasaan itu membuatnya pikirannya 'kacau', hatinya diliputi oleh suatu misteri..entah misteri apa

"Dina, kerja kamu luar biasa.....masih muda, cantik, jenius....tak salah jika Perusahaan memberimu posisi tsb....." kata seorang Komisaris

Pujian komisaris menambah kencang degup jantungnya...seolah darah berhenti mengalir. Seolah kaki sulit untuk digerakkan. Dengan menghirup nafas pelan, Dina membalas pujian tsb

"Terima kasih Pak..terima kasih...semua berkat bantuan dan bimbingan Bapak..."

"Berapa usiamu sekarang... adakah 40...?" tanya Komisaris itu lagi

Dina tersipu malu.....rona merah kembali menghiasi wajahnya....

"Saya baru 34.... Pak..." jawab Dina sambil tertunduk malu

"Wow...Surprise...kita memiliki calon direksi termuda. Cantik, jenius dan ber-visi...semoga kamu sukses ya...."

Dina terkesima. Tak percaya. Calon direksi....? ah, gak mungkin... aku salah dengar....

-oooOooo-

Minggu, pk. 04.00 Dina terbangun.

Ohhhhh....lelah pikiran dan badannya membuatnya agak sedikit malas untuk bangun. Namun undangan stake holder untuk sekedar minum kopi pagi di Kafe Padang Golf mengharuskan dia untuk segera bergegas.....

"Ah....ngantuknya....."

Dina kembali merebahkan badannya....rasanya dia ingin meliburkan diri bersama anak-anaknya....terutama Fitri yang kemarin membuatnya sedikit marah....

Tapi...undangan Direksi dan Komisaris adalah sebuah 'Perintah'...laksana titah Raja yang harus dijalankan, meskipun hanya ajakan sambil lalu...

"Ahhhh....."

Dina mulai menyiapkan diri. Mandi pagi dan sedikit bersolek....tampil agak cantik dan...hmmmm..seksi dikit rasanya tidak apa-apa. Toh akan bersantai bersama orang-orang penting 'penguasa' kantor....'apalagi bila....bila ada yg tertarik padaku...' pikirnya..

'ah pikiran ngelantur.....' pikirnya lagi

"Ibuuuu....Tolong tiduri aku Bu...." seru Adit sambil berjalan pelan dan membawa bantal guling yang sarungnya entah kemana

"Adiiit....?" tanyanya heran

"Adiit...." seru Dina kembali. Heran, tidak biasanya Adit bangun pagi dan pindah ke kamarnya.

"Ibuuu...tolong tiduri aku bu...semalam aku gak bisa tidur...aku kepikiran Ayah....aku ingin bermain bersama Ayah...."

"Adit. Hari ini Ibu masuk kantor....Ibu akan bertemu Bos di kantor..." jawab Dina

"Ibuuu...tolong tiduri aku...aku ngantuk ...pengen tidur bareng Ibu..." pinta Adit, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dina, Ibundanya...

Dina terdiam. Hatinya semakin membuncah....perasaan malas memenuhi undangan Direksi kembali muncul....tapi motivasi untuk memperlihatkan loyalitas demikian tinggi...dus, dia sudah berdandan seksi.

Diusap-usap perlahan kepala Adit. Rambutnya yang sedikit ikal bergelombang mirip seperti rambutnya. Bentuk wajahnya yang agak oval dan halus merujuk pada ayahnya...

"ahhh..aku jadi ingat Mas Darman. Wajah Adit mirip ayahnya....semalam dia memberi kabar kalau Meeting di bandung diperpanjang karena banyak Klien baru yang ikut datang...." bathin Dina dalam hati....seketika ia merasa bersalah dengan suaminya.

"Adiiit, Ibu harus pergi sayang.....Ibu harus masuk kantor....."

"Tapi buu..." Adit tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena Dina mengangkat kakinya perlahan, sehingga kepala Adit berpindah ke bagian pinggir tempat tidur.

Dina meneruskan riasannya dimuka cermin yang ada di sisi kanan tempat tidurnya. Bibirnya diolesi lipstick tipis warna merah muda, sesuai dengan pakaian yang dikenakannya. Pakaian terbaik yang dimilikinya, hadiah Ulang Tahun dari Mas Darman suami tercinta.

"Mas Darman pasti akan silau bila melihat aku sekarang. Pasti akan memujiku 'Cantiiik'..hehehe...sayang dandananku saat ini untuk orang lain...."

"Huk..huk..huk.." suara batuk kecil beriak keluar dari mulut Adit

"Adiit, kamu batuk. Jajan apa kamu kemarin" tanya Dina sambil terus memainkan penghalus bedak dipipinya

"Huk..huk..huk.." suara itu kembali terdengar

"Mboookkk....tolong ambilkan air putih hangat. Adit batuk nih" teriak Dina dari dalam kamarnya

Tepat pk. 05.00 Dina meluncur menuju Kafe Padang Golf. Perjalanan akan memakan waktu 30 menit. Cukuplah. Karena pertemuan dan sarapan kopi pagi baru akan dimulai pk. 06.00. Tapi biasanya banyak yang sudah datang dengan perlengkapan stick golf, termasuk pemilihan 'caddy' pendamping permainan golfnya nanti.

-oooOooo-

Dina sangat menikmati suasana Kopi Paginya. Dia begitu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak ada lagi perasaan canggung, malu dan minder bercengkerama dengan jajaran Direksi, Komisaris dan Pimpinan Unit Mitra Kerja. Apalagi dalam acara yang dikemas secara informal ini. Seolah ia sudah menjadi bagian dari mereka. Jajaran elit perusahaan.

"Penuhi jiwa ini dengan satu rindu...rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu...meski tak layak ku harap debu Cinta-MU" ringtone HP Dina berbunyi....

"Maaf Pak,,,,,,," Dina tak sanggup meneruskan kata-katanya untuk meminta ijin mengangkat Hpnya

"Silakan ..silakan....ini suasana santai kok" jawab salah seorang Direksi

"Permisi Pak"

"Meski begitu ku akan bersimpuh... Penuhi jiwa ini dengan satu rindu...rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu...." ringtone itu terus berbunyi...

Ditempat yang agak jauh dari kerumunan orang Dina mengangkat Hpnya...

"Hallo...." sapanya

"Bu...kamu ada dimana sekarang....?" tanya suara disana dengan lembut

"Sedang bersama Direksi dan komisaris di kantor.. Yah..." jawab Dina

Ohhh,...ternyata dari mas Darman, suaminya. Dina terbiasa memanggilnya Ayah, menyesuaikan diri dengan panggilan anak-anaknya

"Loch emangnya masuk... ?" tanya Mas Darman lagi

"Iyya Yah..."

"kapan pulangnya...Adit sakit di rumah kata si Mbok..."

"nanti siang.....atau mungkin juga sore..."

"Yaa sudah...biar Ayah saja yang pulang segera"

-oooOooo-

Pk. 15.30 Dina kembali kerumahnya. Sarapan Kopi Pagi di kafe Padang Golf ternyata diteruskan dengan acara ramah tamah dan meeting informal dengan Mitra Kerja dan Klien. Beberapa Kontrak Kerja 'deal' dalam ramah tamah itu. Dina baru mengetahui kalau banyak 'deal' 'deal' kontrak kerja yang putus di Kafe, Padang Golf serta jamuan makan. Mungkin karena lebih santai dan informal....pikirnya, sehingga lebih mudah untuk bicara dari hati ke hati

Tiba di ujung jalan pemukiman, Dina melihat banyak orang berduyun menuju satu rumah dengan membawa nampan, rantang dan gelas-gelas kecil.

"Ada apa ini...?" tanya Dina dalam hati

Ada bendera kuning terikat di atas tiang listrik tepi jalan...

"Ohh ada yang meninggal...."

Dina mempercepat langkahnya. Ia juga ingin melayat. Ia tak ingin juga tertinggal dalam urusan sosial di lingkungannya....

Tak berapa lama Dina tersentak. Kakinya kaku tak bisa digerakkan....dia melihat banyak orang berkerumun dipekarangan rumahnya. Kebanyakan ibu-ibu dan wanita yang mengenakan pakaian berwarna gelap dan berkerudung. Bapak-bapak ada di ruang tengah...

"ohh...apakah...apakah....."

"Tidaaaakkkkkkkkk"

Dina mencoba untuk berlari. Namun kakinya semakin sulit bergerak.

Air mata Dina deras mengalir ketika ia melihat seorang bapak berpeci hitam dan berpakaian muslim putih sedang melantunkan ayat-ayat Qur'an. Dari suaranya tersendat terlihat jelas bahwa Bapak itu menahan tangis. Kadang sesegukan sesekali menghambat laju bacaan Qur'annya..

"Mas Darman.....Ayahhhhhh" seru Dina setengah berteriak

"Ayah siapa yang meninggal Yah....?" tanya Dina kepada Bapak yang sedang mengaji tadi

"Ayah..siapa yah....?" tanyanya lagi

Bapak tadi tidak menjawab. Telunjuk jarinya mengisyaratkan bahwa Dina bisa membuka kain kafan yang belum tertutup

Dengan sedikit merangkak, Dina berjalan tersendat, dan membuka kain kafan penutup wajah si mayit.

"Yaa Allah...Aadiiitttt" Dina langsung memeluk tubuh jenazah itu

"Maafkan Ibu Nak....maafkan Ibu nak......." teriak Dina keras, membuat seisi rumah menoleh kepadanya. Bahkan beberapa orang yang berada di luar juga berlari kearah rumah

"Adddiiiiittttt....Sini nak...Ibu akan tiduri kamu...Ibu akan tidur bersamamu Nak....."

"Addiiittttt bangun nak..Ibu sudah pulang...Ibu sudah pulang nak...."

"Ibu ingin tidur bersama mu...."

Dina meraung keras seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya....air matanya mengalir deras. Tak kuasa menahan sedih. Rasanya ingin sekali ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu agar kembali bergerak....namun Mas Darman segera merangkulnya. Memeluknya. Dan mencium keningnya...

"Bu....ini salah kita..salah Ayah....Ayah terlalu sering meninggalkan keluarga.."

"Bukan Yah...ini salah Ibu...tadi pagi Adit minta ditemani tidur, tapi Ibu tolak..."

"Ya sudahlah...ini salah kita semua. Adit terkena paru-paru basah akut. Dan terlambat ditolong....."

-oooOooo-

Sahabat,

Anak, isteri, suami dan keluarga adalah perhiasan dunia. Perhiasan yang paling indah adalah istri yang sholeh (Amar'atush-Sholihah), suami yang adil ('imamun 'adilun) dan anak-anak yang mendoakan orang tuanya.

:: KOKOHNYA IMAN VS BENGISNYA PREMAN ::

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik .. itu akan mendarat di wajah mereka.



Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara Ayat Suci yang amat ia benci. "Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerannya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan kepada sang Algojo... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...Insya Allah tempatmu di Syurga." Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.



Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu!

Sang Ustadz lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah SWT.  Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."


Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.



Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.


Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol. Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.



Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi ( ibu ) yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti abayanya.
Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."



Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..." Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih. "Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. "Hai bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu.
Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.


Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..." Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.


Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.


Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"
Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha illallah, wa asyahadu anna Muhammadan Rasullullah...'. Beliau pergi  menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.


Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agama Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.


Sahabat, kisah ini adalah salah satu dari sekian ribu sekenario/makar /tipu daya para Musuh Allah untuk meluluhlantakkan Kaum Muslimin dimanapun adanya, " Fisik mereka boleh saja seorang Santri atau Ustadz atau Kyai tapi Pemikiran dan perilaku mereka harus Kapitalis dan Hedonis, Titel mereka boleh Doktor atau Profesor namun pemikiran dan perilaku mereka harus Sosialis dan Zionis ".



Namun bagaimanapun canggihnya makar mereka, tetaplah Makar Allah jauh lebih canggih, " Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Q.S.Ali Imron:54).

:: JANGAN CENGENG ::

Seorang ibu menyuruh seorang anaknya membeli sebotol penuh minyak. Ia memberikan sebuah botol kosong dan uang sepuluh rupee. Kemudian anak itu pergi membeli apa yang diperintahkan ibunya. Dalam perjalanan pulang, ia terjatuh. Minyak yang ada di dalam botol itu tumpah hingga separuh. Ketika mengetahui botolnya kosong separuh, ia menemui ibunya dengan menangis, “Ooo… ibu, saya kehilangan minyak setengah botol! Saya kehilangan minyak setengah botol!” Ia sangat bersedih hati dan terus menerus murung. Tampaknya ia memandang kejadian itu secara negatif dan pesimis.

Kemudian, ibu itu menyuruh anaknya yang lain untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee lagi. Kemudian anaknya pergi. Dalam perjalanan pulang, ia juga terjatuh. Dan separuh minyaknya tumpah. Ia memungut botol dan mendapati minyaknya tinggal separuh. Ia pulang dengan wajah berbahagia. Ia berkata pada ibunya, “Ooo… ibu saya tadi terjatuh. Botol ini pun terjatuh dan minyaknya tumpah. Bisa saja botol itu pecah dan minyaknya tumpah semua. Tapi, lihat, saya berhasil menyelamatkan separuh minyak.” Anak itu tidak bersedih hati, malah ia tampak berbahagia. Anak ini tampak bersikap optimis atas kejadian yang menimpanya.

Sekali lagi, ibu itu menyuruh anaknya yang lain untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee. Anaknya yang ketiga pergi membeli minyak. Sekali lagi, anak itu terjatuh dan minyaknya tumpah. Ia memungut botol yang berisi minyak separuh dan mendatangi ibunya dengan sangat bahagia. Ia berkata, “Ibu, saya menyelamatkan separuh minyak.”
Tapi anaknya yang ketiga ini bukan hanya seorang anak yang optimis. Ia juga seorang anak yang realistis.
Dia memahami bahwa separuh minyak telah tumpah, dan separuh minyak bisa diselamatkan. Maka dengan mantap ia berkata pada ibunya, “Ibu, aku akan pergi ke pasar untuk bekerja keras sepanjang hari agar bisa mendapatkan lima rupee untuk membeli minyak setengah botol yang tumpah. Sore nanti saya akan memenuhi botol itu.”

Sahabat, apapun bentuk kepemilikan yang ada ditangan kita, harta, rumah, kendaraan, jabatan, perusahaan, Ilmu, Waktu, anak2 dan istri2 yang kita cintai pada saat yang telah ditetapkan nati PASTI AKAN LENYAP dari tangan kita. Maka kehilangan salah satu diantaranya atau seluruhnya janganlah dianggap sebagai musibah yang akan menghentikan langkah kita untuk terus ber-KARYA PRESTATIF (beramal sholeh). karena semua duniawi yang telah lepas dari tangan kita itu masih bisa dicari lagi dengan kesungguhan dan optimisme.

Maka sangatlah rugi jika segala kepemilikan kita itu lenyap begitu saja tanpa bekas, disaat kita sebelum sempat kita MENGABADIKANNYA.

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. ( Q.S.An-Nahl :96)

Senin, 05 Juli 2010

:: Merubah Takdir ::

Seorang pemain profesional bertanding dalam sebuah turnamen golf. Ia baru saja membuat pukulan yang bagus sekali yang jatuh di dekat lapangan hijau.
Ketika ia berjalan di fairway, ia mendapati bolanya masuk ke dalam sebuah kantong kertas pembungkus makanan yang mungkin dibuang sembarangan oleh salah seorang penonton. Bagaimana ia bisa memukul bola itu dengan baik?

Sesuai dengan peraturan turnamen, jika ia mengeluarkan bola dari kantong kertas itu, ia terkena pukulan hukuman. Tetapi kalau ia memukul bola bersama-sama dengan kantong kertas itu, ia tidak akan bisa memukul dengan baik. Salah-salah, ia mendapatkan skor yang lebih buruk lagi.
Apa yang harus dilakukannya?

Banyak pemain mengalami hal serupa. Hampir seluruhnya memilih untuk mengeluarkan bola dari kantong kertas itu dan menerima hukuman. Setelah itu mereka bekerja keras sampai ke akhir turnamen untuk menutup hukuman tadi.

Hanya sedikit, bahkan mungkin hampir tidak ada, pemain yang memukul bola bersama kantong kertas itu. Resikonya terlalu besar. Namun, pemain profesional kita kali ini tidak memilih satu di antara dua kemungkinan itu.

Tiba-tiba ia merogoh sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan sekotak korek api. Lalu ia menyalakan satu batang korek api dan membakar kantong kertas itu. Ketika kantong kertas itu habis terbakar, ia memilih tongkat yang tepat, membidik sejenak, mengayunkan tongkat, wus, bola terpukul dan jatuh persis ke dalam lobang di lapangan hijau. Bravo! Dia tidak terkena hukuman dan tetap bisa mempertahankan posisinya. Smiley…!

Sahabat, Ada orang yang menganggap kesulitan sebagai hukuman, dan memilih untuk menerima hukuman itu. Ada juga yang mengambil resiko untuk melakukan kesalahan bersama kesulitan itu.
Namun, sedikit sekali yang bisa berpikir kreatif untuk menjadikan kesulitan itu sebagai peluang untuk menggapai kesuksesan.

Keputusan dan Takdir Allah itu akan berubah ketika kita berani menempuh mujahadah ( kesungguhan ) dan ikhtiar yang makasimal. Bukan hanya menerima dan pasrah dengan keadaan yang ada.

Kasus diatas, adalah contoh konkrit Kalau sang pegolf tersebut tidak berfikir keras dan menerima kondisi yang ada didepan matanya, maka dipastikan dia tidak akan menang bahkan terhukum. Keadaan yang sulit tersebut membuat dirinya tidak menyerah begitu saja dan mengerahkan segala kemampuan berfikirnya untuk mengatasi kesulitan yang ada di depan matanya. Maka Allapun turun tangan memberikan solusi untuknya, dan takdir kemenanganpun diraihnya.

Allahpun dengan tegas berfirman,
“ Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK MENGUBAH KEADAAN SESUATU KAUM SEHINGGA MEREKA MENGUBAH KEADAAN YANG ADA PADA DIRI MEREKA SENDIRI. dan apabila allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain dia ” (Q.S.Ar-Ra’du :11 )

Ayat ini adalah motivator agar kita bekerja keras dan cerdas agar senantiasa kemenangan dan kesuksesan selalu di pihak kita.

Sahabat yang dicintai Allah SWT, untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang terkait dengan Generasi kita yang Yatim dan Dhu’afa yang semakin meningkat jumlah dan permasalahannya dibutuhkan kebersamaan, mujahadah dan kerja keras kita semua sebagai bentuk kesungguhan kita dalam mengabdi kepada Allah SWT agar takdir keterpurukan ini berubah menjadi kesejahteraan bersama.